Macam-macam Air

Monday, January 13, 2020 Abdurrahman Murad 0 Comments

Ditinjau dari segi kegunaan sebagai sarana bersuci (thahârah), air dibagi menjadi empat macam:

1. Air suci yang bisa menyucikan dan tidak makruh digunakan

Yang bisa masuk dalam kategori ini adalah tujuh macam air yang keluar dari perut bumi atau yang turun dari langit (air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air es atau salju, dan air embun.).[1] Tujuh macam air di atas hukumnya suci, bisa menyucikan dan tidak makruh digunakan, asal tidak termasuk dalam 3 kategori air yang akan diterangkan berikutnya.

2. Air suci yang tidak bisa menyucikan

Yang masuk dalam kategori ini adalah:

a) Air musta’mal, yaitu air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis. Air ini hanya bisa digunakan untuk kebutuhan selain bersuci, seperti minum, memasak dan lain sebagainya. Maka dari itu, seumpama melakukan wudhu dan airnya kurang dari dua kullah maka diharapkan menggunakan alat ciduk, tidak mengambil air secara langsung. Hal itu untuk menjaga kemurnian air.

b) Air buah-buahan atau tumbuh-tumbuhan semacam air kelapa, dan air semangka.

c) Air mutlak yang tercampur benda suci yang larut, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan mencolok pada sifat air. Contohnya, air teh atau air yang tercampur oleh sabun sampai terjadi perubahan mencolok sehingga ada perubahan nama dari air saja menjadi air teh.  Jika perubahannya hanya sedikit maka tetap bisa menyucikan.

 

Tidak masuk dalam kategori ini:

1) air yang berubah karena terlalu lama diam;

2) air yang berubah sifatnya karena tertular oleh benda yang mendampinginya, misalnya air yang berbau busuk karena di dekat air itu ada bangkai;

3) air yang berubah disebabkan benda yang terendam di dalam air itu asal benda itu tidak larut dan bisa dibedakan dari airnya dengan mata telanjang, misalnya air yang berubah busuk baunya karena direndami kayu,

4) air yang berubah karena tercampur benda yang memang lazim bersinggungan dengan air, semisal debu, dan lumut.

Empat kategori ini masih tetap bisa menyucikan meskipun terjadi perubahan mencolok pada bau, warna, maupun rasa dari air itu.

3. Air suci dan dapat menyucikan namun makruh digunakan.

Air ini makruh digunakan karena ada efek negatif, yaitu air yang panas karena terkena sinar matahari dan wadahnya terbuat dari bahan yang dicetak dengan menggunakan api, seperti besi dan sejenisnya.[2] Tidak termasuk dalam kategori ini, wadah yang terbuat dari emas dan perak. Begitu juga makruh, menggunakan air yang terlalu panas dan terlalu dingin. Hukum makruh tersebut tidak berlaku jika airnya sudah dingin.

4. Air najis

Yang dimaksud di sini adalah air yang terkena najis. Air bisa menjadi najis karena dua kemungkinan:

1) jika airnya banyak (mencapai dua qullah) lalu terkena najis, maka air tersebut menjadi najis apabila terjadi perubahan pada salah satu sifatnya (bau, rasa dan warna). Bila tidak terjadi perubahan sama sekali maka tetap suci;

2) jika airnya sedikit, kemudian terkena najis, maka air tersebut menjadi najis, baik terjadi perubahan sifat atau tidak.

Air bisa disebut sedikit apabila tidak mencapai dua qullah. Mengenai ukuran dua qullah ulama masih beda pendapat. Menurut Imam Nawawi dua qullah = 174,580 liter (ukuran wadah bersegi empat = 55,9 cm3); menurut Imam Rafi’i = 176,245 liter (ukuran wadah bersegi empat  = 56,1 cm3) [3]

 

============

Dari buku : Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)



[1] Dalam kitab-kitab fikih, air jenis ini biasa disebut dengan “air muthlaq”, yakni air suci yang tidak memiliki qayyid permanen (embel-embel/batasan yang mengikat), juga tidak tercampur oleh benda lain sehingga dapat mengubah nama atau status air tersebut. Maksud dari qayyid permanen yang bisa menghilangkan ke-muthlaq-an air di sini adalah nama tambahan yang tidak bisa terlepas, seperti air kelapa atau air mawar. Kata “kelapa” atau “mawar” merupakan embel-embel yang tidak akan terlepas meskipun air itu dipindah dari satu tempat ke tempat lain. Bila embel-embel itu bisa lepas maka tidak mempengaruhi ke-mutlaq-an dari air, misalnya air laut, air hujan, air sumur, dst. Tambahan kata “laut” disebabkan karena memiliki ikatan dengan tempat, yaitu laut. Jika airnya dipindah maka namanya juga akan berubah menjadi air kendi, air gelas dan lain sebagainya. Qayyid “laut” juga akan hilang ketika air tersebut dipindah ke jeding sehingga menjadi “air jeding”. Ketika dimasukkan ke dalam kendi maka menjadi “air kendi”. Maka hukum dari air tersebut tetap termasuk air muthlaq yang suci dan menyucikan.

[2] Sebenarnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makruhnya menggunakan air yang panas akibat sinar matahari. Imam Nawawi menyatakan bahwa air tersebut tidak makruh digunakan.

[3] Lihat Kaifiah dan Hikmah Shalat vesi Kitab Salaf  hlm. 09.

0 Comments:

BLOG_CMT_createIframe('https://www.blogger.com/rpc_relay.html', '0');