Showing posts with label Fiqih. Show all posts

8 Golongan Yang behak Menerima Zakat


 Perintah untuk memberikan zakat sudah termaktub dalam surat At Taubah ayat 60 yang berbunyi:

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha bijaksana."

Maka, berzakat sangat dianjurkan apalagi kepada 8 golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, di antaranya: 

  1. Fakir, yakni orang yang tidak mempunyai harta atau penghasilan layak dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun rang yang menjadi tanggungjawabnya. Contoh : seseorang mmemerlukan uang Rp. 100.000 untuk kehidupan dalam sehari, tetapi ia hanya mempunyai Rp. 30.000 atau 20.000 saja.
  2. Miskin, yakni orang yang mempunyai penghasilan atau harta layak dalam memenuhi keperluannya dan keperluan orang yang menjadi tanggungannya tetapi tidak sepenuhnya tercukupi misalnya : seseorang memerlukan uang 100.000 tetapi ia hanya memiliki 60.000 atau 80.000 saja.
  3. Amil Zakat (Panitia Zakat), yakni orang yang melaksanakan segala sesuatu yang berkenaan dengan kegiatan zakat.
  4.  Muallaf, yakni orang yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap islam atau terhalang niat jahatnya tersebut terhadap kaum muslim, atau orang yang diharapkan akan ada manfaat dalam membela dan menolong kaum muslim dari musuh.\
  5. Rigaab (budak), yaitu budak yang telah dijanjikan oleh tuannya akan dimerdekakan bila telah melunasi harga dirinya yang telah ditentukan.
  6. Al Ghariim, yaitu orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya.
  7. Sabilillah, yaitu setiap orang yang berusaha taat kepada Allah SWT, dan menjalankan kebaikan misalnya tentara sukarelawan, para pelajar dan santri, kiay, muballigh, dan lain lain.
  8. Ibnu Sabil (Musafir), yaitu orang yang sedang dalam perjalanan lalu kehabisan perbekalan, dengan syarat perjalanan tersebut bukan untuk maksiat.

Pengertian Zakat dan macam macam Zakat

Zakat menurut bahasa berarti berkah, tumbuh, bersih baik, dan bertambah. sedangkan menurut istilah zakat ialah sebutan atau nama bagi sejumlah harta tertentu yang di wajibkan Allah SWT. Supaya diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima.

Macam macam Zakat

Zakat dibagi menjadi dua :

  1. Zakat Maal (Harta) ialah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib dikeluarkan atau diberikan kepada orang orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula.
  2. Zakat Fitrah (zakat badan) ialah zakat yang diwajibkan pada akhir bulan Ramadan bagi setiap muslim, baik anak kecil maupun dewasa, baik laki laki maupun perempuan, dan baik orang merdeka maupun hamba sahaya.

Pengertian Najis

Najis menurut etimologi (bahasa) adalah benda yang kotor. Sedangkan menurut Terminologi (syara’) adalah semua kotoran yang menghalangi sahnya shalat yang dikerjakan selagi tidak terdapati hal yang meringankannya. Hasyiyah al-Jamal II/105

 ( قوله حيث لا مرخص ) أي موجود وهذا القيد للإدخال فيدخل المستنجي بالحجر فإنه يعفى عن أثر الاستنجاء وتصح إمامته ومع ذلك محكوم على هذا الأثر بالتنجس إلا أنه عفي عنه ويدخل أيضا فاقد الطهورين إذا كان عليه نجاسة فإنه يصلي لحرمة الوقت ولكن عليه الإعادة

(Keterangan selagi tidak terdapati hal yang meringankannya) maka tergolong najis juga orang yang beristinja’ (bersuci menggunakan batu) maka hukumnya najis hanya saja dima’fu (diampuni) bekas yang masih tersisa dari najisnya dan sah menjadikan imam shalat dirinya. Juga termasuk orang yang tidak menemukan dua sarana untuk bersuci (air dan debu) bila dalam dirinya terdapati najis maka bershalatlah dirinya sekedar menghormati waktu shalat tetapi diwajibkan baginya mengulang kembali shalatnya. [ I’aanah at-Thoolibiin I/82 ].

قوله : ( حيث لا مرخص ) القيد للإدخال فيدخل المستنجي بالحجر ، فإنه يعفى عن أثر الاستنجاء وتصح إمامته ، ومع ذلك محكوم على هذا الأثر بالتنجيس إِلا أنه عفى عنه ، ويدخل أيضاً حل أكل الميتة للمضطر مثلاً ، فإنه وإن حل محكوم عليها بالنجاسة لكنه أبيح له التناول للضرورة

 (Keterangan selagi tidak terdapat hal yang meringankannya) maka tergolong najis juga orang yang beristinja’ (bersuci menggunakan batu) maka hukumnya najis hanya saja dima’fu (diampuni) bekas yang masih tersisa dari najisnya dan sah menjadikan imam shalat dirinya. Dan tergolong juga didalamnya kehalalan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa, sesungguhnya meskipun halal hukum bangkainya tetaplah najis namun diperbolehkan baginya memakannya karena unsur darurat. [ Tuhfah al-Habiib I/461 ].

ADAB BUANG HAJAT

Membuang hajat adalah perkara yang biasa kita lakukan setiap harinya. Namun, sangat disayangkan, banyak di antara kita yang tidak mengetahui adab-adab yang dituntunkan di dalamnya. Padahal hal ini telah di ajarkan oleh syariat agama  kita yang sempurna telah mengajarkan permasalahan ini sebagai mana dinukil dalam kitab fiqih. Lihat (Nihaayah az-Zain I/17-18)

Diantaranya adalah sebagai berikut :

·       Mendahulukan kaki kiri saat memasuki kamar kecil dan kaki kanan saat keluar

·       Menjadikan kaki kiri sebagai penyangga utama saat duduk dalam membuang hajat

·       Menjauhkan diri dari orang lain sekira tiada mendengar dan mencium aroma kotoran yang ia keluarkan

·       Janganlah kencing di air tenang

·       Janganlah kencing searah dengan bertiupnya angina

·       Janganlah kencing dijalanan yang biasa dilalui manusia

·       Janganlah kencing ditempat yang biasa dijadikan tempat orang

·       Janganlah kencing dibawah pohon yang sedang berbuah

·       Janganlah kencing dilobang tanah

·       Janganlah kencing ditempat/tanah yang keras

·       Janganlah kencing dengan berdiri

·       Janganlah melihat kemaluan saat membuang kotoran

·       Janganlah melihat kotoran yang ia keluarkan

·       Janganlah mempermainkan tanganny

·       Janganlah menoleh ke kanan dan ke kiri

·       Janganlah menghadap matahari atau rembulan ataupun searah Baitul Maqdis

·       Janganlah memasuki kamar kecil dengan tanpa alas kaki

·       Janganlah memasuki kamar kecil tanpa penutup kepala

·       Janganlah berbicara

·     Janganlah cebok dengan air yang ada ditempat ia buang kotoran tetapi pindahlah ke tempat lainnya kecuali ditempat yang memang disediakan khusus untuk membuang kotoran maka tidak perlu ia pindah tempat

·       Tuntaskan sedapat mungkin air seni yang hendak ia keluarkan dengan cara yang biasa ia lakukan

·   Saat memasuki kamar kecil bacalah “BISMILLAAHI ALLAAHUMMA INNI A’UUDZUUBIKA MINAL KHUBUTSI WAL KHOBAA-ITSI”

·       Saat keluar dari kamar kecil bacalah doa “GHUFROONAK, ALHAMDULILLAAHIL LADZII ADZHABA ‘ANNIL ADZAA WA ‘AAFAANII”

·       Wajib membuat penutup diri agar tidak terlihat oleh pandangan orang lain

·     Wajib untuk tidak menghadap kiblat atau membelakanginya saat membuang hajat kecuali ia berada ditempat yang memang disediakan khusus untuk membuang kotoran.


Macam-macam Air

Ditinjau dari segi kegunaan sebagai sarana bersuci (thahârah), air dibagi menjadi empat macam:

1. Air suci yang bisa menyucikan dan tidak makruh digunakan

Yang bisa masuk dalam kategori ini adalah tujuh macam air yang keluar dari perut bumi atau yang turun dari langit (air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air es atau salju, dan air embun.).[1] Tujuh macam air di atas hukumnya suci, bisa menyucikan dan tidak makruh digunakan, asal tidak termasuk dalam 3 kategori air yang akan diterangkan berikutnya.

2. Air suci yang tidak bisa menyucikan

Yang masuk dalam kategori ini adalah:

a) Air musta’mal, yaitu air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis. Air ini hanya bisa digunakan untuk kebutuhan selain bersuci, seperti minum, memasak dan lain sebagainya. Maka dari itu, seumpama melakukan wudhu dan airnya kurang dari dua kullah maka diharapkan menggunakan alat ciduk, tidak mengambil air secara langsung. Hal itu untuk menjaga kemurnian air.

b) Air buah-buahan atau tumbuh-tumbuhan semacam air kelapa, dan air semangka.

c) Air mutlak yang tercampur benda suci yang larut, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan mencolok pada sifat air. Contohnya, air teh atau air yang tercampur oleh sabun sampai terjadi perubahan mencolok sehingga ada perubahan nama dari air saja menjadi air teh.  Jika perubahannya hanya sedikit maka tetap bisa menyucikan.

 

Tidak masuk dalam kategori ini:

1) air yang berubah karena terlalu lama diam;

2) air yang berubah sifatnya karena tertular oleh benda yang mendampinginya, misalnya air yang berbau busuk karena di dekat air itu ada bangkai;

3) air yang berubah disebabkan benda yang terendam di dalam air itu asal benda itu tidak larut dan bisa dibedakan dari airnya dengan mata telanjang, misalnya air yang berubah busuk baunya karena direndami kayu,

4) air yang berubah karena tercampur benda yang memang lazim bersinggungan dengan air, semisal debu, dan lumut.

Empat kategori ini masih tetap bisa menyucikan meskipun terjadi perubahan mencolok pada bau, warna, maupun rasa dari air itu.

3. Air suci dan dapat menyucikan namun makruh digunakan.

Air ini makruh digunakan karena ada efek negatif, yaitu air yang panas karena terkena sinar matahari dan wadahnya terbuat dari bahan yang dicetak dengan menggunakan api, seperti besi dan sejenisnya.[2] Tidak termasuk dalam kategori ini, wadah yang terbuat dari emas dan perak. Begitu juga makruh, menggunakan air yang terlalu panas dan terlalu dingin. Hukum makruh tersebut tidak berlaku jika airnya sudah dingin.

4. Air najis

Yang dimaksud di sini adalah air yang terkena najis. Air bisa menjadi najis karena dua kemungkinan:

1) jika airnya banyak (mencapai dua qullah) lalu terkena najis, maka air tersebut menjadi najis apabila terjadi perubahan pada salah satu sifatnya (bau, rasa dan warna). Bila tidak terjadi perubahan sama sekali maka tetap suci;

2) jika airnya sedikit, kemudian terkena najis, maka air tersebut menjadi najis, baik terjadi perubahan sifat atau tidak.

Air bisa disebut sedikit apabila tidak mencapai dua qullah. Mengenai ukuran dua qullah ulama masih beda pendapat. Menurut Imam Nawawi dua qullah = 174,580 liter (ukuran wadah bersegi empat = 55,9 cm3); menurut Imam Rafi’i = 176,245 liter (ukuran wadah bersegi empat  = 56,1 cm3) [3]

 

============

Dari buku : Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)



[1] Dalam kitab-kitab fikih, air jenis ini biasa disebut dengan “air muthlaq”, yakni air suci yang tidak memiliki qayyid permanen (embel-embel/batasan yang mengikat), juga tidak tercampur oleh benda lain sehingga dapat mengubah nama atau status air tersebut. Maksud dari qayyid permanen yang bisa menghilangkan ke-muthlaq-an air di sini adalah nama tambahan yang tidak bisa terlepas, seperti air kelapa atau air mawar. Kata “kelapa” atau “mawar” merupakan embel-embel yang tidak akan terlepas meskipun air itu dipindah dari satu tempat ke tempat lain. Bila embel-embel itu bisa lepas maka tidak mempengaruhi ke-mutlaq-an dari air, misalnya air laut, air hujan, air sumur, dst. Tambahan kata “laut” disebabkan karena memiliki ikatan dengan tempat, yaitu laut. Jika airnya dipindah maka namanya juga akan berubah menjadi air kendi, air gelas dan lain sebagainya. Qayyid “laut” juga akan hilang ketika air tersebut dipindah ke jeding sehingga menjadi “air jeding”. Ketika dimasukkan ke dalam kendi maka menjadi “air kendi”. Maka hukum dari air tersebut tetap termasuk air muthlaq yang suci dan menyucikan.

[2] Sebenarnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makruhnya menggunakan air yang panas akibat sinar matahari. Imam Nawawi menyatakan bahwa air tersebut tidak makruh digunakan.

[3] Lihat Kaifiah dan Hikmah Shalat vesi Kitab Salaf  hlm. 09.